Mencermati perubahan prosedur kegiatan ekspor impor di masa pemulihan ekonomi yang diakibatkan pandemi covid-19.
Wabah virus korona yang bermula dari Wuhan di akhir Desember 2019 telah menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan sangat cepat, sehingga WHO menetapkannya sebagai pandemi global. Kondisi ini telah memukul kegiatan perekonomian global, termasuk lalu lintas perdagangan internasional.
Terhambatnya kegiatan ekspor impor menyebabkan kenaikan harga sejumlah komoditas pangan dan penutupan sejumlah bisnis. Ketika bisnis kehilangan pendapatan, pengangguran cenderung meningkat tajam. Dampak ini akan terus terasa selama adanya pembatasan pergerakan orang dan kegiatan ekonomi, serta tergantung pada respons dari otoritas-otoritas keuangan nasional.
Penurunan tajam dalam pengeluaran konsumen di Uni Eropa dan Amerika Serikat akan mengurangi impor barang-barang konsumsi dari negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang, terutama yang bergantung pada pariwisata dan ekspor komoditas, menghadapi risiko ekonomi yang meningkat. Produksi manufaktur global mengalami penurunan secara signifikan.
Untuk mengatasi mandeknya kegiatan ekonomi banyak negara melakukan kebijaksanaan “new normal”. Sehingga pemulihan kegiatan ekonomi kembali bergeliat walaupun tidak serta merta kembali seperti sebelum adanya pandemi.
Bagi Indonesia, dampak yang ditanggung sektor perdagangan sangat terasa. Terutama akibat perlambatan ekspor impor dengan Cina, salah satu dari lima besar mitra dagang Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per April 2020, lima besar tujuan ekspor Indonesia adalah Cina, Jepang, Amerika Serikat, India, dan Australia.
Sektor batu bara merupakan sektor yang mengalami penurunan paling banyak. Selain itu pengiriman komoditi agro industri juga ikut terdampak. Di sektor manufaktur, kebutuhan akan suku cadang industri yang biasanya diimpor dari Cina ikut terhambat. Suku cadang dihargai lebih mahal dan prosesnya menjadi lebih lama, kegiatan pelayaran juga ikut tersendat.
Kemudian penurunan juga tidak hanya terjadi pada bidang ekspor dan impor saja, tapi merembet ke semua sektor ekonomi. Para pelaku usaha kecil turut merasakan hal ini. Yang paling mencolok anjloknya tingkat penjualan semenjak pandemi.
Pemerintah mengeluarkan stimulus non-fiskal untuk mengurangi dampak negatif dari pandemi pada kegiatan ekspor impor. Stimulus tersebut diharapkan dapat memberikan dorongan terhadap kegiatan ekspor dan impor tanah air.
Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak pandemi dengan membuat kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
Dengan diberlakukannya empat kebijakan di atas, kegiatan ekspor dan impor diharapkan dapat berjalan lancar. Sehingga ketersediaan bahan-bahan yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi juga terjamin.
Tercatat 749 komoditas HS Code yang terdapat dalam penyederhanaan Lartas, atau sekitar 55,19 persen dari total komoditas ekspor yang selama ini kena Lartas. Komoditas yang bebas Lartas itu yakni 443 kode HS pada komoditas ikan dan produk ikan dan 306 HS Code untuk produk industri kehutanan.
Tujuan penyederhanaan jumlah Lartas tersebut untuk meningkatkan kelancaran dan ketersediaan bahan baku. Fasilitas di atas diberikan kepada perusahaan yang berstatus sebagai importir produsen yang mengimpor bahan baku untuk 1.022 HS Code atau sekitar 9% dari komoditas yang selama ini masuk dalam Lartas.
Produk itu di antaranya produk besi baja, hortikultura, garam industri, gula, tepung, jagung dan kentang serta komoditas lainnya. Sehingga beberapa peraturan yang berkaitan dengan komoditi ekspor dan impor dilakukan revisi yaitu peraturan Permendag 44 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, Permedag 72 tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Dan Impor Hewan Dan Produk Hewan dan Peraturan Kepala Badan POM nomor 30 tahun 2017 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat Dan Makanan Ke Dalam Wilayah Indonesia.
Pemerintah juga memberikan kemudahan percepatan arus barang kargo, yakni percepatan proses ekspor dan impor untuk reputable traders, yakni perusahaan-perusahaan terkait kegiatan ekspor impor yang memiliki tingkat kepatuhan tinggi. Perusahaan-perusahaan tersebut masuk ke dalam Authorized Economic Operator (AEO) sebanyak 136 perusahaaan dan Mitra Utama Kepabeanan (MITA) sebanyak 626 perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut diberikan insentif tambahan dalam bentuk percepatan proses ekspor dan impor, yakni penerapan proses dan persetujuan otomatis serta penghapusan laporan surveyor terhadap komoditas yang diwajibkan.
Kemudahan lain dalam rangka mengurangi dampak wabah pandemi adalah layanan proses ekspor-impor dan pengawasan melalui pengembangan National Logistics Ecosystem (NLE).
NLE merupakan kanal yang memfasilitasi kolaborasi sistem informasi antar instansi pemerintah dan swasta untuk penyederhanaan dan sinkronisasi. Adapun penyederhanaan itu terkait arus informasi dan dokumen dalam kegiatan ekspor-impor di pelabuhan dan kegiatan perdagangan atau distribusi barang dalam negeri melalui berbagai data, simplikasi proses bisnis, penghapusan repetisi, serta duplikasi. Dengan NLE maka terjadi proses integrasi antara INSW, Inaport, Inatrade, CEISA, sistem trucking, sistem gudang, sistem transportasi, sistem terminal operator, dan lainnya.
Di lapangan, terdapat perubahan proses impor untuk penyerahan dokumen Certificate of Origin (COO) atau Surat Keterangan Asal (SKA) ke petugas Bea Cukai. Hal ini mengubah pula proses pengadministrasian dan pemanfaatan fasillitas impor menggunakan tarif preferensi bea masuk.
Kini penerbitan SKA sering kali terkendala dengan kebijakan negara mitra yang menerapkan lockdown. Dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi tersebut, Bea Cukai menerbitkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 45/PMK.04/2020. Dengan adanya aturan petunjuk pelaksanaan SKA tersebut, ada kepastian hukum dalam kegiatan perdagangan internasional dengan negara mitra, khususnya terkait penggunaan Affixed Signature and Stamp (ASnS).
Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menjaga stabilitas perdagangan internasional dan asas resiprokal dengan negara mitra FTA. Untuk menjaga physical distancing, Bea Cukai juga mengubah pengaturan penyampaian COO/SKA terkait penyerahan SKA atau Invoice Declaration beserta Dokumen Pelengkap Pabean (Dokap) penelitian SKA.
Dalam peraturan sebelumnya tentang COO/SKA (PMK 229 tahun 2017), dinyatakan bahwa importir wajib menyerahkan lembar asli SKA secara fisik dengan dibubuhi tanda tangan manual oleh pejabat dan wajib ditandatangani oleh eksportir serta adanya Overleaf Notes. Kemudian dokumen original harus diserahkan kepada petugas Bea Cukai maksimal 3 hari (jalur hijau) dan 5 hari untuk perusahaan yang berstatus AEO dan MITA Kepabeanan.
Kini, penyampaian SKA harus dilakukan dengan pengiriman melalui surat elektronik atau media elektronik lainnya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kalender sejak pemberitahuan pabean impor atau PPFTZ-01 pemasukan. Ketentuan ini berlaku terhadap Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang diterbitkan sejak penetapan pandemi covid-19 oleh WHO.
Pihak yang mendapatkan manfaat langsung atas peraturan-peraturan di atas adalah importir, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pusat logistik berikat, dan pengusaha di kawasan bebas.