Storytelling boleh dikatakan sebagai seni berkomunikasi. Jauh sebelum ada bahasa tulis, manusia berkomunikasi dengan cara […]
Storytelling boleh dikatakan sebagai seni berkomunikasi. Jauh sebelum ada bahasa tulis, manusia berkomunikasi dengan cara bercerita. Inilah bentuk transfer ilmu paling konvensional, tapi tetap efektif dipakai sampai saat ini karena memang terbukti.
Audiens, apapun latar belakangnya, pasti tertarik pada pembicara yang dinamis yang mampu menyajikan informasi dengan antusiasme tinggi dan keinginan kuat. Tapi apa yang membuat pendengar tertarik sebenarnya karena gaya bercerita yang dibawakan.
Sangat mungkin dikatakan bahwa suksesnya presentasi besar dipengaruhi gaya storytelling yang diterapkan. Tapi kenapa storytelling itu penting dalam presentasi?
Storytelling pada dasarnya mampu menghadirkan koneksi yang kuat antara pembicara dan audiens. Ini membuat presentasi yang disampaikan menjadi tak sekedar rangkaian kata-kata saja, tapi juga menyajikan pesan dalam wujud sebenarnya.
Gaya bercerita ini membuat pesan terasa lebih hidup, lebih-lebih jika dibumbui anekdot yang relevan dengan keseharian. Ini tentu terasa lebih menarik audiens dibanding memakai struktur baku presentasi. Cerita yang dibagi bisa dirasa langsung oleh audiens sehingga lebih mudah diterima dan diingat.
Cerita yang disajikan membuat momen tersebut lebih mudah dimengerti karena pendengar bisa mengilustrasikan pesan dengan lebih baik lewat contoh atau metafora. Tapi gaya storytelling hanya akan berhasil jika karakter pembicara mendukung.
Pembicara harus membuka diri pada audiens, bercerita berdasarkan pengalaman pribadi, lalu menyajikan dengan runut. Tapi harus diingat, cerita bukanlah dongeng statistik yang bisa diukur. Terlepas apa yang disajikan mengandung statistik penting, cerita yang akan disampaikan harus mampu menguraikan fakta yang ingin diangkat.
Tentu saja ada emosi dan perasaan yang terlibat, tapi jauh lebih mudah jika yang disampaikan memang dari pengalaman pribadi. Dengan begitu, pembicara bisa menyiapkan respon emosi yang tepat sesuai pengalaman yang terjadi.
Lebih dari itu, berbagi pengalaman pribadi bisa membantu audiens terhubung, tak hanya sekedar rasa iba, melainkan lebih tinggi. Kunci storytelling sebenarnya tidak berfokus pada kata yang dipilih, alih-alih pada cara menyampaikan cerita yang dimaksud.
Supaya audiens memahami pesan yang disajikan, pembicara jelas perlu melakukan usaha lebih dibanding presentasi biasa. Teknik yang dipakai jelas berbeda, tak hanya menyampaikan apa yang tertulis dalam susunan draft, tapi juga emosi yang menyertainya.
Presentasi bisa dikatakan berhasil kalau pesan yang diutarakan masuk di benak audiens untuk jangka lama. Triknya yaitu dengan menenggelamkan audiens pada alur cerita. Tak cukup bermodal rangkaian kata, tapi juga harus dibantu slide dan grafis guna menambah keyakinan audiens.
Hasilnya jauh lebih efektif karena tiap kata dan gambar yang muncul membantu menghadirkan gambaran mental yang jelas dari pesan yang ingin disampaikan. Visual yang dihadirkan berperan sebagai suplemen tambahan dari cerita yang diangkat.
Termasuk trik cantik agar presentasi bergaya storytelling berakhir sukses yaitu dengan meningkatkan aspek sensorik. Aspek ini mampu menciptakan detail yang memungkinkan audiens melihat, merasakan, dan mendengar. Mirip-mirip dengan sensasi yang dihadirkan bioskop 4D!
Siapapun yang menonton film atau membaca novel pasti paham kalau cerita yang bagus harus punya konflik di tiap plotnya. Elemen ini jika diterapkan pada presentasi bisa memunculkan rasa penasaran yang membuat audiens tetap duduk manis di kursi, lalu bertanya “bagaimana selanjutnya?”
Setidaknya ada sejumlah opsi yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan tensi pada presentasi. Satu yaitu dengan bercerita secara kronologis lalu mengakhiri dengan klimaks seperti pada wanita yang lahir dengan kelainan tulang tapi pada akhirnya mampu menjadi atlit.
Atau dua, langsung masuk ke bagian tengah sebelum kembali ke bagian awal untuk memberi tahu bagaimana situasi tersebut bisa terjadi. Misalnya cerita kisah sukses orangtua, lalu kembali ke masa lalu hanya untuk bercerita tentang dirinya sendiri.
Opsi lain yaitu mengawali dengan alur cerita yang mudah ditebak lalu memberi kejutan ke audiens dengan menyajikan cerita lanjutan yang sama sekali berbeda dari yang diharap. Misal memulai dengan Bahasa Indonesia lalu dilanjut dengan Bahasa Inggris dengan tujuan memberi tahu identitas dan latar belakangnya.
Tak beda jauh dengan klimaks, berikan satu momen penting yang bisa diingat audiens setidaknya sampai seminggu ke depan. Di antara trik untuk menghadirkan momen seperti ini yaitu dengan sedikit mendramatisir, menampilkan gambar bersifat provokatif, atau statistik yang mengejutkan.
Tergantung tema presentasi, pembicara bisa memilih trik yang diinginkan guna menciptakan momen tak terduga. Membawa properti juga tak masalah, asal tetap relevan dengan tema yang disampaikan.
Bagian dari presentasi ideal yaitu menyudahi semuanya dengan resolusi yang bernada positif, tentunya setelah menghadirkan konflik dan klimaks serta momen untuk diingat. Resolusi ini bisa berupa pesan yang berisi saran, nasehat, atau harapan untuk mengatasi persoalan yang muncul.
Tapi agar berhasil, pesan harus pendek dan memakai frasa yang gampang diingat, atau kalimat yang bisa dengan mudah viral. Pada akhirnya, storytelling merupakan apa yang dibutuhkan pembicara agar pesan yang disampaikan diterima dengan efektif.